Definisi tentang HAM pun memiliki keberagaman diantara para pakar. Menarik untuk melihat pendekatan definisi yang diberikan oleh Scott Davidson. Ia melihat bahwa HAM dalam hukum internasional harus didekati dengan beragam perspektif:
“Untuk memahami hukum internasional mengenai HAM, ada aspek-aspek tertentu dari subjek ini yang tidak dapat di tinggalkan begitu saja. Aspek-aspek ini merupakan komponen histories,politis dan filosofis dari HAM. Adalah mustahil memberi makna HAM tanpa mempelajari berbagai kekuatan yang membentuk aspek itu. Sejarah dan politik memberi dimensi kontekstual pada HAM, filsafat memberinya makna dan ilmu hukum membahas mekanisme penerapanya.”
Pada abad
ke-12 ditandai dengan sudah dikenalnya klausul-klausul most-favoured nation
(MFN) treatment dan timbal balik dalam abad itu. Pengaruh lain disumbangkan
dari ilmu ekonomi, yaitu dengan lahirnya tulisan The Wealth of Nation (1776)
karya Adam Smith. Ia menyatakan bahwa spesialisasi akan menciptakan efisiensi
dalam penggunaan sumberdaya yang kemudian menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan.
“…specialisation
allows for the more efficient allocation of resources and for improved
productivity which, in turn, generates economic growth and wealth.”
Teori Adam
Smith tersebut kemudian dilengkapi oleh David Ricardo dengan mengimbuhkan bahwa
spesialisasi perlu didukung dengan pembagian kerja secara global. Kedua
pendapat ilmuwan ekonomi tersebut saat ini dikenal dengan teori keunggulan
komparatif. Teori tersebut menyatakan bahwa setiap negara memiliki keunggulan
masing-masing sehingga secara rasional memungkinkan terjadinya hubungan
perdagangan (ekonomi). Pengaruh dari pemikiran kedua sarjana tersebut adalah
terciptanya liberalisasi dalam bidang ekonomi.
Liberalisasi
ekonomi mensyaratkan bahwa pasar harus bebas dari intervensi negara. Adam Smith
misalnya percaya bahwa pasar memiliki mekanisme tersendiri apabila terjadi
distorsi dalam pasar. Ia menyebutnya dengan invisible hand. Pada masa
liberal tersebut klausul-klausul yang biasa terdapat dalam hukum ekonomi
internasional telah tertuang dalam bentuk perjanjian-perjanjian bilateral
mengenai perdagangan dan navigasi, selain itu tidak banyak perjanjian yang
dibentuk organisasi-organisasi internasional. Setelah Perang Dunia kedua
masyarakat internasional banyak mendapat pelajaran berharga untuk menghindari
perang.
Pertama
adalah dengan mengharmonisasi kekuatan tiap negara, menjaga perdamaian dan
keamanan internasional dengan membangun hubungan bersahabat diantara negara
serta untuk meningkatkan kerjasama internasional. Implementasinya adalah dengan
melakukan,
“promote …
higher standards of living, full employment and conditions of economic and
social progress and development.”
Tindakan
dalam melakukan kerjasama internasional tersebut harus dilakukan dengan
menghormati prinsip persamann (equality) dan penghormatan atas HAM serta
kebebasan fundamental tanpa batasan ras, jender, bahasa dan agama. Kedua,
resesi ekonomi yang timbul setelah perang dunia kedua menimbulkan apa yang
dikenal dengan Bretton Woods System dengan pendirian lembaga-lembaga
ekonomi internasional seperti IMF, World Bank dan GATT. Lembaga-lembaga inilah
(minus GATT) yang kemudian melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum ekonomi
internasional.
Prinsip-Prinsip
dan Pendekatan Dalam Hukum Ekonomi Internasional
Menurut
Verloren Van Themaat terdapat enam prinsip dasar dalam hukum ekonomi
internasional, yaitu:
- Prinsip timbal balik
- Prinsip Persamaan perlakuan antara orang asing dengan warga negara sendiri
- Prinsip MFN
- Prinsip kebijakan terbuka (open door policy)
- Prinsip perlakukan prefersensi (preferential treatment)
- Prinsip persamaan dan perlakuan adil (equality and fair treatment)
Prinsip-prinsip
tersebut disimpulkan setelah melihat praktik-praktik negara dalam melakukan
hubungan ekonomi. Prinsip itulah yang kemudian diadopsi oleh GATT/WTO dalam
melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum ekonomi dan perdagangan
internasional. Pendekatan yang dilakukan untuk menemukan prinsip-prinsip
tersebut menurut Bjorn Hettne dan Robert Potter menggunakan pemikiran
pembangunan (development thingking).
Pemikiran
pembangunan tersebut menimbulkan dua pendekatan lainnya, yaitu:
1) Teori
pembangunan
Teori yang
menjelaskan bagaimana pembangunan harus atau mungkin terjadi.
2) Strategi
pembangunan
Penjelasan
bagaimana usaha-usaha masyarakat dunia dalam melakukan pembangunan. Pendekatan
pembangunan ini hanya memfokuskan pada kebijakan-kebijakan negara. GATT menggunakan
pendekatan ini karena pada saat itu dunia dipengaruhi oleh liberaliasasi yang
diusung oleh Amerika untuk melakukan liberalisasi pasar dan kompetisi yang
bebas. Dengan asumsi adanya keunggulan komparatif negara. Penggunaan keunggulan
komparatif ini disebut oleh Jeffrey Dunoff dengan model efisiensi (model
efficiency).
Tujuanya
adalah untuk memaksimalkan kesejahteraan ekonomi. Caranya adalah dengan
mengurangi peran pemerintah dalam intervensi hubungan ekonomi dan secara
sukarela untuk melakukan pertukaran akses pasar demi mempercepat pencapaian
kesejahteraan. Ide awal pendirian GATT dapat dilihat dalam pendekatan model
tersebut.
Dalam bagian
preambul GATT dinyatakan untuk melakukan liberalisasi perdagangan sebagai bukti
dari adanya ketergantungan antarnegara yang merupakan inti dari ekonomi dunia.
Tujuannya adalah pertumbuhan dan kesejahteraan dunia yang berujung pada
terciptanya perdamaian dunia. Namun, menurut Moon, meskipun pendirian GATT
sangat erat dengan liberalisasi versi Adam Smith dan Ricardo yang menghendaki
lepasnya intervensi negara, namun ternyata ketentuan dalam GATT tidak murni
liberal.
Ketentuan
GATT lebih menganut pada teori ekonomi J.M. Keyness yang masih menganggap bahwa
intervensi negara tetap dibutuhkan sebagai jaring pengaman sosial atas efek
negatif liberalisasi pasar. Pendekatan inilah yang kemudian dikenal dengan
“Mixed Economy”. Inilah mengapa dalam ketentuan GATT masih dianut intervensi
atas kebijakan negara secara terbatas. (misal Pasal 16 tentang subsidi)
Beberapa
pendekatan yang telah dikemukakan belum memasukkan sama sekali hak asasi
manusia. Dapat terlihat bahwa pendekatan yang dikedepankan adalah pendekatan
ekonomi yang berlandaskan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Atas dasar itu
masyarakat internasional mecoba untuk melakukan pembaharuan dalam hukum ekonomi
internasional. Pendekatan baru yang muncul kemudian dalam hukum ekonomi
internasional adalah pendekatan hak asasi manusia. Pendekatan ini memfokuskan
pada pembagian ekonomi secara adil. Hal ini dilaksanakan dengan mendukung
adanya intervensi negara untuk melindungi hak-hak dasar dan kebebasan
fundamental individu dalam bidang ekonomi.
Pendekatan
hak asasi manusia mendapatkan respon yang baik dari masyarakat internasional
khususnya negara-negara berkembang. Hal ini ditandai dengan dibentuknya United
Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada tahun 1964. Tujuan utama
UNCTAD adalah untuk memajukan perdagangan internasional, khususnya
negara-negara sedang berkembang dengan maksud untuk peningkatan pembangunan ekonominya.
Oleh karena itu, badan ini akan merumuskan prinsip-prinsip dan
kebijakan-kebijakan, membuat usulan-usulan dan meninjau serta memajukan
koordinasi kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga lainnya yang masih berada dalam
lingkup PBB di bidang perdagangan dan kerjasama ekonomi dan pembangunan
internasional.
Selain itu,
badan ini akan melaksanakan kegiatan-kegiatan lainnya yang dipandang perlu
sepanjang masih berada dalam kompetensinya. (Resolusi 1995 (XIX), paragraph 3)
Pengaruh UNCTAD terhadap hukum ekonomi internasional cukup signifikan. Pada
tahun 1965, GATT akhirnya menambahkan bagian empat (Part IV) tentang
Perdagangan dan Pembangunan (Trade and Development) yang merupakan usulan dari
UNCTAD (meskipun ketentuan ini tidak mengikat). Selanjutnya pada tahun 1968,
UNCTAD berhasil membuat prinsip mengenai General System of Preference
(GSP) .
GSP
merupakan prinsip dimana negara-negara maju memberikan perlakuan tarif
preferensial (yang lebih menguntungkan) bagi produk-produk negara sedang
berkembang. Pendekatan hak asasi manusia dalam hukum ekonomi internasional
sebetulnya bukanlah sesuatu yang baru, melainkan hanya pengulangan yang telah
dicantumkan dalam Piagam PBB dan Deklarasi Umum HAM 1948.
Hak Asasi
Manusia dan Ekonomi Internasional
Hak asasi
manusia (HAM) dalam hukum ekonomi internasional menjadi perhatian masyarakat
internasional setelah pendekatan HAM mulai menyebar secara luas. Pendekatan HAM
ini pada akhirnya menyadarkan masyarakat internasional untuk membuat sebuah
konvensi internasional tentang hak ekonomi. Konvensi internasional tentang hak
asasi manusia dalam bidang ekonomi terlaksana pada tahun 1966 dengan
menghasilkan International Convention on Economic, Social and Cultural
Rights (ICESCR). Konvensi tersebut merupakan derivasi dari deklarasi universal
HAM 1948.
Perdebatan
ideologis atas kelahiran konvensi hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) ini
cukup menarik. Negara-negara yang memiliki latar belakang ideologi
liberalis-kapitalis tidak mendukung dilahirkannya konvensi Ekosob dengan alasan
bahwa negara tidak boleh intervensi atas kegiatan ekonomi. Sedangkan
negara-negara sosialis mendukung kelahiran konvensi Ekosob ini dengan alasan
bahwa negara memiliki tanggungjawab untuk mensejahterahkan rakyatnya.
Jalan tengah
perdebatan tersebut adalah dengan dikeluarkanya dua konvesi atas derivasi
deklarasi universal HAM 1948, yaitu Konvensi Hak Sipil dan Politik serta
Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Latar belakang perdebatan ideologis
ini diakui oleh Verloren Van Themaat. Menurut beliau bahwa dalam tertib ekonomi
internasional terdapat dua sistem ekonomi yang berbeda. Pertama adalah
negara-negara yang menganut pada prinsip liberalisasi pasar yang dikenal dengan
negara kapitalis. Kedua adalah negara-negara sosialis yang menganut pentingnya
intervensi negara dalam bidang ekonomi.
Jika melihat
bagian pembukan konvensi Ekosob, terlihat jelas bahwa pembentukan konvensi
didasarkan pada Piagam PBB (Pasal 1 ayat 2 dan 3 serta 55) serta Deklarasi
Universal HAM 1948 (Pasal 22-27). Konvensi juga menyadari bahwa individu
memiliki kewajiban atas individu dan komunitasnya serta memiliki kewajiban
untuk memperjuangkan hak-hak yang dijamin dalam konvensi. Menurut Huala Adolf,
materi konvensi yang penting adalah :
1)
Hak atas Ekonomi
2)
Hak atas Pekerjaan
3)
Hak atas Gaji dan Kondisi yang Layak
4)
Hak untuk Membentuk dan Bergabung dengan Serikat Kerja/Dagang
5)
Hak untuk Istirahat
6)
Hak untuk Mendapatkan Standar Hidup yang Layak yang Mencakup Makanan, Pakaian,
Perumahan, Kesehatan dan Pelayanan Sosial
7)
Hak atas Pendidikan, Termasuk Pendidikan Gratis
8)
Hak untuk Ikut Serta dalam Kehidupan Budaya pada Masyarakat.
Apabila
melihat riwayat terciptanya konvensi Ekosob, maka terlihat bahwa pendekatan hak
asasi manusia dalam hukum ekonomi internasional telah mendapatkan momentumnya.
Sedangkan mengenai substansi konvensi Ekosob, maka pendekatan yang digunakan
tidak saja pendekatan hak asasi manusia tetapi juga menggunakan pendekatan
hak-hak dasar (basic needs approach).
Pendekatan
ini meluas sekitar tahun 1960 hingga awal 1970. Berdasarkan pendekatan ini,
hukum ekonomi internasional harus diartikan secara luas, berorientasi pada
perlindungan individu demi memenuhi aspek kesehatan, pendidikan, pertanian,
kesehatan reproduksi demi mencapai standar kesejahteraan minimum bagi kelompok
yang lemah dalam masyarakat.
http://medizton.wordpress.com/2009/11/04/hak-asasi-manusia-dalam-hukum-ekonomi-sosial-dan-budaya-internasionalinternational-convention-on-economic-social-and-cultural-rights-icescr/
0 komentar:
Posting Komentar