Prinsip-Prinsip
Hak Asasi Manusia
Beberapa
prinsip telah mencakup hak-hak asasi manusia internasional. Prinsipprinsip
tersebut
pada umumnya terdapat di hampir semua perjanjian internasional dan
diaplikasikan
ke dalam hak-hak yang lebih luas. Prinsip kesetaraan, pelarangan
diskriminasi
dan kewajiban positif yang terletak pada setiap negara digunakan untuk
melindungi hak-hak tertentu, tiga
contoh di antaranya akan didiskusikan di sini:
(1) Prinsip Kesetaraan
(2) Prinsip Diskriminasi
(3) Kewajiban Positif untuk Melindungi Hak-Hak
Tertentu
Hak-Hak Terbatas
Sebagaimana
tidak semua hak dapat diderogasi, tidak semua hak juga bersifat
absolut.
Beberapa hak mengandung fleksibilitas. Namun hal ini tidak membuat hak
tersebut
menjadi tidak lebih penting dibandingkan dengan hak lainnya. Ini hanya
merupakan
sebuah kebutuhan praktis dan legal.
Apa
itu hak-hak terbatas?
Hal ini
paling baik jika ditunjukkan dengan menggunakan contoh. Pasal 8
Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mensyaratkan negara
untuk
memastikan bahwa semua orang dapat membentuk dan bergabung dengan
organisasi
buruh. Dalam situasi yang ekstrim, hal ini dapat mengakibatkan masalah
yang
serius bagi negara, jadi Pasal 8 ayat (1) huruf (c) menyatakan bahwa ”hak
serikat
buruh
untuk beraktifitas secara bebas tidak terikat pada batasan-batasan kecuali
batasan
yang
ditetapkan oleh hukum yang perlu dalam masyarakat demokratis untuk
kepentingan
keamanan nasional atau ketertiban umum atau untuk melindungi hak-hak
dan
kebebasan-kebebasan orang lain”.65 Jadi negara, contohnya, dapat membatasi
aktivitas
publik dari serikat buruh dengan tujuan untuk menata ketertiban umum.
Pembatasan
sering dikenakan untuk mengatur benturan hak-hak yaitu bahwa kebebasan
berekspresi
adalah suatu kebebasan dasar dalam masyarakat demokratis. Walaupun
begitu,
jika seseorang diizinkan untuk mengatakan hal apapun pada orang lain, pelanggaran
terhadap hak dan kebebasan lainnya dapat terjadi. Karena itulah kebebasan
ini harus
mempunyai pembatasan apabila untuk menghormati hak dan reputasi orang
lain atau
untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau
moral.
Subjek
Hukum Hak Asasi Manusia
Siapakah
yang menjadi subjek hukum internasional? Suatu subjek hukum adalah
sebuah
entitas (seorang individu secara fisik, sekelompok orang, sebuah perusahaan
atau organisasi)
yang memiliki hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional.
Pada
prinsipnya, suatu subjek hukum internasional dapat menerapkan haknya atau
mengajukan
perkara ke hadapan pengadilan internasional, ia juga dapat mengikatkan
dirinya
dengan subyek hukum lainnya melalui perjanjian, dan subyek hukum lainnya
dapat
melakukan kontrol (dalam konteks dan tingkatan tertentu) terhadap bagaimana
sebuah
subyek hukum melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya. Negara
merupakan
fokus utama hukum internasional. Organisasi internasional seperti PBB dan
57
juga
individu dapat menjadi subjek hukum internasional. Peraturan yang sama juga
berlaku
bagi hukum hak asasi manusia internasional, karena dasar dari hukum hak asasi
manusia
internasional adalah hukum internasional.
(1)
Aktor Negara – Pemangku Kewajiban
Negara
merupakan subjek utama hukum internasional dan dengan demikian juga
merupakan
subjek hukum hak asasi manusia. Definisi negara tidak berubah dan selalu
diidentifikasi
sama dalam berbagai produk hukum internasional serta mempunyai empat
karakteristik
yaitu (1) populasi tetap; (2) wilayah yang tetap; (3) pemerintahan; (4)
kemampuan
untuk melakukan hubungan dengan negara-negara lain.
Suatu
negara yang menjadi anggota suatu komunitas internasional memperoleh
apa yang
disebut sebagai international personality. Subjek-subjek hukum tidak
memiliki
hak dan kewajiban yang sama secara otomatis. Hak dan kewajiban
internasional
melibatkan dan mensyaratkan adanya status sebagai international
personality,
tetapi mendapatkan status international personality tidak secara
otomatis
berarti
mendapatkan hak dan kewajiban secara keseluruhan.
Dalam
konteks hak asasi manusia, negara menjadi subyek hukum utama, karena
negara
merupakan entitas utama yang bertanggung jawab melindungi, menegakkan, dan
memajukan
hak asasi manusia, setidaknya untuk waga negaranya masing-masing.
Ironisnya,
sejarah mencatat pelanggaran hak asasi manusia biasanya justru dilakukan
oleh
negara, baik secara langsung melalui tindakan-tindakan yang termasuk pelanggaran
hak asasi
manusia terhadap warga negaranya atau warga negara lain, maupun secara
tidak
langsung melalui kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik baik di level nasional
maupun
internasional yang berdampak pada tidak dipenuhinya atau ditiadakannya hak
asasi
manusia warga negaranya atau warga negara lain.
Dalam
pemahaman umum dalam hukum kebiasaan internasional, sebuah negara
dianggap
melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human
rights)
jika (1) negara tidak berupaya melindungi atau justru meniadakan hak-hak
warganya
yang digolongkan sebagai non-derogable rights; atau (2) negara yang
bersangkutan
membiarkan terjadinya atau justru melakukan melalui aparat-aparatnya
tindak
kejahatan internasional (international crimes) atau kejahatan serius (serious
crimes)
yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
58
perang;72 dan
atau negara tersebut gagal atau tidak mau menuntut pertanggungjawaban
dari para
aparat negara pelaku tindak kejahatan tersebut.
Selain
karena power-relations seperti dijelaskan di atas, negara juga merupakan
international
person yang menjadi pihak dari berbagai perjanjian internasional mengenai
hak asasi
manusia, baik yang berupa kovenan, konvensi, statuta, atau bentuk perjanjian
lainnya,
beserta segala wewenang dan tanggung jawab yang melekat padanya sebagai
Negara
Pihak dari perjanjian tersebut.
Selain
negara, organisasi internasional seperti PBB, NATO, Komisi Eropa,
ASEAN, dan
lainnya, dalam perkembangan kontemporer hukum internasional juga
seringkali
dianggap sebagai subyek hukum internasional dan hukum hak asasi manusia
internasional,
dan diletakkan sebagai aktor negara (state-actors). Hal ini terutama,
selain
karena alasan bahwa organisasi internasional beranggotakan negara-negara,
adalah
karena perkembangan dalam hukum hak asasi manusia internasional dengan
bermunculannya
berbagai mekanisme hak asasi manusia baik di tingkat internasional
maupun
regional yang secara politis dan administratif berada di bawah atau dibentuk
melalui
organisasi internasional tersebut.
Bagi
sebuah organisasi internasional, bukan hanya organisasi tersebut yang
menjadi
subjek hukum internasional, para anggotanyapun demikian. Ini berarti bahwa
secara
teoritis suatu tindak pelanggaran internasional yang dilakukan oleh negara
anggota
suatu organisasi internasional dapat menimbulkan pertanggungjawaban bagi
organisasi
dan negara itu sendiri. Suatu organisasi internasional bertanggungjawab atas
tindakan pelanggaran
internasional yang dilakukan oleh negara anggota apabila
organisasi
tersebut menyetujui suatu keputusan yang mengikat negara anggota untuk
melakukan
tindakan semacam itu, atau organisasi tersebut atau memberi kewenangan
pada
negara anggota untuk melakukannya. Ada ketidakjelasan dalam beberapa hal,
seperti
pembagian tanggungjawab antara organisasi internasional dengan para negara
anggotanya.
Diperlukan analisis lebih lanjut yang mempertimbangkan isi, sifat, dan keadaan
tindakan yang dilakukan oleh negara anggota, serta peraturan organisasi
internasional.
(2)
Aktor Non-Negara – Pemangku Kewajiban
Pada
awalnya, hukum internasional merupakan hukum antar-negara. Namun tidak
boleh
dilupakan, bagaimanapun juga masalah perlindungan hak asasi manusia bukan
lagi
merupakan objek dari kebijakan negara berdaulat. Oleh karena itu, masalah
tersebut
harus
dipertimbangkan oleh negara dan lembaga internasional lainnya dalam batasan
kewenangan
lembaga internasional. Tetapi, bahkan kemunculan organisasi antar-negara
dan
beragam kesatuan yang menyerupai negara (seperti Vatikan, sovereign order,
dll),
dan
gerakan pembebasan nasional telah mengubah “kemurnian” karakter norma hukum
internasional
antar-negara. Adalah mungkin untuk mendefinisikan seseorang atau suatu
kesatuan
di luar negara yang memiliki hak dan kewajiban yang timbul dari norma
hukum
internasional sebagai suatu subjek hukum internasional.
Dalam
kasus ini, skala subjek hukum internasional menjadi lebih luas. Sebagai
contoh,
hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional terbentuk bukan hanya
oleh
organisasi antar negara saja, tetapi juga oleh organ-organ mereka dan juga
pejabatpejabat
yang
bertanggungjawab, dan juga oleh sejumlah organisasi ekonomi
internasional
dan organisasi non-pemerintah. Walaupun mereka tidak berperan serta
secara
langsung dalam pembentukan norma hukum internasional dan dalam menjamin
pemenuhannya
(walaupun tentu saja mereka dapat berperan serta secara tidak langsung,
baik dalam
membentuk hukum internasional, seperti Komisi Hukum Internasional atau
dalam
menjamin penegakan prinsip dan norma hukum internasional, Amnesti
Internasional
sebagai contohnya), mereka juga tetap memiliki hak dan kewajiban yang
secara
langsung timbul dari norma hukum internasional walaupun dibatasi oleh ruang
lingkup yang ada.
http://pusham.uii.ac.id/ham/8_Chapter2.pdf
0 komentar:
Posting Komentar